Critical Eleven : Sebuah Arung Jeram Rasa

Here we go. My first book review.

Libur kuliah kali ini mungkin adalah libur kuliah terproduktif yang pernah saya alami. Dalam arti, produktif membaca buku. Mungkin dibantu juga dengan rutinitas magang saya kali ini, sehingga saya jadi punya momen yang selalu memaksa saya untuk membaca buku untuk membunuh waktu, yaitu saat saya sedang dalam perjalanan di kereta. 

Di liburan kali ini, sebenarnya saya sudah menamatkan beberapa buku, namun saya memutuskan untuk membuat ulasan buku ini terlebih dahulu karena buku ini yang terakhir saya baca, jadi ingatan saya masih segar akan buku ini. 

Jadi, saya akan mulai dengan memberi ulasan pada buku karya Ika Natassa, Critical Eleven.

Critical Eleven bercerita tentang Ale, seorang laki-laki yang kerjaannya jadi engineer di rig lepas pantai sehingga mengharuskan  dia menghabiskan setengah hidupnya di rig dan di Jakarta, dan juga Anya, seorang perempuan yang bekerja di salah satu kantor konsultan di bilangan kota Jakarta yang kerap kali mengharuskan ia pergi ke luar negeri demi bertemu klien. Singkat cerita, terjadilah pertemuan antara mereka berdua. Namun, buku ini tidak menceritakan proses naik turun mereka hingga akhirnya jatuh cinta. Buku ini lebih menceritakan kedalaman perasaan dalam lika-liku rumah tangga mereka. Keguguran Anya menjadi penyebab awal permasalahan di antara mereka berdua.

Sebetulnya, saya bukan penggemar novel bergenre romance. Saya lebih suka novel bergenre fantasy, history, maupun sci-fi. Namun, setelah mendengar atau melihat review yang cukup baik dari teman-teman saya untuk buku ini, dan setelah saya disodorkan buku ini oleh salah seorang teman saya, so, why don't we just give it a try?

 Well, buku ini mungkin menjadi gerbang saya untuk mengenal tulisan Ika Natassa, karena buku ini adalah buku Ika Natassa yang pertama yang saya baca. Critical Eleven dipaparkan dengan alur yang menarik, dimana dengan alur yang tidak runut, Ika menyelipkan momen-momen manis antara Ale dan Anya yang menurut saya sangat berperan dalam membangun suasana cerita, dan membuat para pembaca bisa memahami serta membayangkan emosi yang dirasakan Anya maupun Ale dalam setiap ceritanya. Yang paling saya sukai mungkin adalah pembentukan karakter dari masing-masing karakter di novel ini sendiri. Seolah kita bisa mengenal setiap karakter di novel tersebut, terutama Ale dan Anya, dengan sangat baik. Dan terlebih lagi, setiap lembar cerita membangun karakter mereka dengan ketidaksempurnaannya, yang membuat cerita ini terasa lebih nyata.

Novel ini begitu apa adanya, dan kita bisa merasakan bahwa novel ini 'dekat' dengan pembaca. Ini bukan jenis cerita dengan kejadian-kejadian yang dibuat-buat. Cerita ini bisa terjadi pada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja di dalam kehidupan kita. Cerita ini mungkin sangat wajar, namun Ika menawarkan kita untuk sekali saja mencicipi bagaimana rasanya jadi "mereka" yang mengalami permasalahan tersebut, membawa kita menaiki perahu arung jeram perasaan sehingga kita bisa merasakan manisnya, pahitnya, dingin dan hangatnya setiap kejadian yang dirasakan oleh tiap karakter yang ada. Dua perspektif untuk satu kejadian dalam novel ini membawa para pembaca mengalami 'perang'nya sendiri. Di satu sisi, kita berempati dengan Anya dan bahwa Ale-lah yang salah. Namun, tak lama kemudian para pembaca akan dibuat sebal dengan karakter Anya dan balik berempati pada Ale. Begitu terus sepanjang cerita, sehingga kita tidak tahu harus memihak pada yang mana.

Bagi saya, cerita novel ini sederhana, namun berhasil dibalut dengan sangat apik sehingga berhasil menyeret perasaan para pembaca, dan membuat kita tersenyum sendiri saat selesai membacanya. Untuk kalian yang menyukai novel bergenre romance, this novel is surely worth a shot! Namun, mungkin untuk kalian yang kurang menyukai novel bergenre romance, you may not find it as amusing as others. But still, I like this book. Sederhana, namun dalam. Shout out to Ika Natassa for her Critical Eleven!

Comments