SELAMAT MAKAN
Di saat orang lain mengidam
makanan restoran mahal, aku justru tak bosannya menyantap makanan rumah. Dari
lahir hingga kini. Makanan yang dibuat oleh Ayah dan Ibu, koki kesukaanku. Selalu
ada yang baru, yang selalu kutunggu-tunggu. Digodok dengan pengetahuan dan
dimatangkan dengan pengalaman. Lalu disajikannya di atas perilaku dan tutur
kata.
Sarapan menjadi favoritku untuk
memulai hari. Salah satu sarapan favoritku disajikan sewaktu aku berumur sembilan
tahun. Ketika aku bangun pagi, aku langsung menemukan sarapanku di atas meja
belajar. Menunggu untuk dicicipi. Sarapan disajikan di dalam amplop yang
bertuliskan “Dari Chef Dedi”. Ayah yang buat. Kukeluarkan sarapanku, dan
kutemukan sehelai kertas bertuliskan “One
day, you will be old enough to start reading fairytales again. CSL.”.
Dibelakangnya tergambar peta komplek rumah kami yang dibuat dengan pensil warna.
Peta harta karun. Kuikuti petunjuk peta tersebut hingga ke taman di komplek
kami. Lalu kutemukan lagi petunjuk yang membawaku ke rumah tetangga, dan begitu
seterusnya hingga berakhir di rak buku keluargaku. Kutemukan satu benda
berlapis bungkus kado berwarna merah cerah, yang berisikan satu set novel The Chronicles of Narnia karya C. S.
Lewis. Salah satu novel fantasi kesukaanku hingga sekarang.
Atau saat aku berulang tahun ke-12.
Sarapanku sudah terpampang jelas di tembok kamar sedari ku bangun pagi.
Selembar karton bertuliskan “Time is an
illusion -Albert Einstein”. Lalu aku menemukan sebuah buku baru di atas meja
belajarku. A Briefer History of Time karya
Stephen Hawking. Kuhabiskan hari itu berbincang dengan Ayah mengenai konsep
waktu, teori relativitas yang belum pernah kupelajari apalagi kumengerti, dan
ilmu kosmologi. Tidak ada yang memberiku ucapan selamat ulang tahun hari itu.
Hanya ada wajah Ibu yang senyam-senyum sepanjang hari, dan menu makanan serba spesial hadir di atas meja makan kami. Menu kesukaanku.
Kalau sarapan adalah spesialis
Chef Dedi, maka makan siang adalah jagonya Chef Mami. Alias Ibu. Berbeda dengan
Ayah yang suka membekaliku dengan berbagai menu favorit, Ibu terkadang suka
menantangku untuk ikut memasak makan siang. Ia hanya memberi bahan utama yang
harus kuolah, sisanya kubuat sendiri. Seperti saat aku sedang murung karena
hujan membuatku tidak jadi pergi bersama teman-teman, Ia menyiapkan bahan untuk
makan siang yang diletakkannya di dalam tudung saji di dapur. Di dalamnya
kutemukan sehelai kertas bertuliskan :
Hujan.
-Chef Mami
Walau sedang kesal, namun
daripada hanya menambah rasa muram, akhirnya kuterima tantangan itu. Sejurus
kemudian, sajak yang telah kubuat kutaruh di atas meja makan, lalu kutinggal
tidur. Esoknya, kertas sajak tersebut telah hilang. Berganti buku sastra yang baru.
Ibu mengenalkanku pada sastra dan
indahnya berbahasa. Ia selalu berkata “Bahasa Indonesia adalah bahasa yang
lahir prematur. Namun dalam keterbatasannya, kita dapat temukan keindahan
tersembunyi”. Ibu juga sering memberiku buku kumpulan sajak seperti Hujan di Bulan Juni karya Sapardi Joko
Damono, Tripitakata karya Sitok
Srengenge, maupun kumpulan sajak yang ia jilid sendiri berisikan karya para
sastrawan lawas seperti Rosihan Anwar dan Chairil Anwar. Ia yang juga
mengenalkanku pada novel-novel mahakarya negeri milik Dewi Lestari, Andrea
Hirata, Laksmi Pamuntjak, dan juga penyair maupun novelis mancanegara.
Makan malam. Waktunya aku yang
menjadi koki. Waktu dimana aku mengolah bahan yang sudah kudapat dari
keseharianku. Dari hasil coba-coba, aku membuat makan malam untuk keluarga yang
disajikan di atas piring cerita.
Seringkali rasanya enak. Di lain waktu, rasanya asam, terlalu asin, atau bahkan
terlampau manis. Mereka dengan takzim mendengarkan celotehanku, dan selalu
memberi tanggapan untuk setiap racikan yang dirasa kurang pas. Memang rasanya
tidak selalu enak, tapi mereka selalu ada untuk membantuku mengatasi masalahku.
Apapun rasa yang kuhasilkan dari
masakanku, Ayah dan Ibu selalu mendukungku. Mereka kerap memujiku agar aku
memiliki pribadi yang positif dan pantang menyerah. Seperti ketika aku melukis
hewan untuk tugas pelajaran seni sekolah. Ayah bilang aku bisa jadi the next Frida Kahlo. Padahal gambar
kucingku saja hasilnya lebih mirip dengan kambing.
Makanan buatan Chef Dedi dan Chef
Mami pun tidak selalu enak. Kadang makanan yang mereka buat adalah ocehan
panjang lebar yang harus kutelan bulat-bulat saat aku terlalu banyak mengeluh.
Atau aksi diam Ibu kepadaku ketika aku pergi tanpa kabar. Tapi yang paling
tidak kusukai adalah saat keduanya bertengkar, tidak sepaham, simpang jalan.
Rasanya tidak enak sekali, aku jadi ingin menangis.
Makanan adalah nutrisi utama bagi
tubuh manusia. Aku anak yang beruntung, memiliki dua chef handal yang memberiku
nutrisi lengkap dan bergizi untukku. Mereka memang bukan chef yang sempurna. Namun
bagiku mereka adalah chef yang terbaik.
Kini aku tahu bumbu rahasia yang
membuat makanan rumahku terasa lezat. Makanan terbaik adalah yang dibuat dengan
kasih sayang. Dan kasih sayang itu akan selalu kutemukan di rumah.
Comments
Post a Comment