Abu-abu

“Kenapa kamu kembali?”
Aku menoleh ke seluruh penjuru, berusaha mencari asal suara itu
“Kenapa kamu kembali?”
Suara itu muncul lagi. Seolah memanggilku. Walaupun aku tak tahu dia berbicara dengan siapa, tapi aku tahu kata-katanya ditujukan kepadaku. Namun aku tak membalas. Kembali apa?

              “Kenapa kamu kembali?”
              Sejurus kemudian, hening. Aku berhenti mencari. Dia berhenti berbunyi. Walau aku tak tahu pasti siapa yang aku sebut dengan “dia”. Entah darimana, tiba-tiba dia muncul di hadapanku. Sosok yang abu-abu, tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata, namun aku dapat melihatnya dengan baik. Dan entah, aku tak tahu apa yang mendorongku dan darimana pemahaman itu berasal, aku kemudian berbicara.
                “Maafkan aku. Aku tak bermaksud untuk kembali. Aku tak tahu untuk apa. Tahu-tahu aku sudah disini”
                “Kau selalu begitu.”
                “......Maaf”
                “Dan kau selalu minta maaf, padahal tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau kesini bukan karena kesalahan, kau tahu itu dengan jelas. Lantas, kenapa kamu harus minta maaf?”. Hening sejenak. Sungguh, aku tak tahu apa yang membuatku mengatakan itu semua. Seolah lidahku tidak perlu lagi berkompromi dengan otak, semua kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.


“Aku tak tahu.” Akhirnya aku menjawab. Dia hanya tersenyum, entah itu senyuman iba atau senyum merendahkan. Dia begitu abu-abu, kau tidak akan bisa menafsirkan dirinya dengan jelas.

                “Itu jawaban sekaligus pertanyaan yang selalu membawamu kembali kesini, Sayang, jika kamu ingat.” Ingat? Ingat apa? Aku bahkan tak tahu aku berada dimana dan sedang apa, dan aku terlalu lelah untuk berpikir batinku. Ketika itu, dia merangkul pundakku sambil berjalan, menuntunku ke sebuah kursi taman yang, entah sejak kapan, ada di dekatnya.

                “Duduklah. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengingat tujuanmu datang kesini. Waktu tak akan lari dari kita.” Aku diam dan menurut saja. Kucoba memusatkan pikiran terhadap alasan apa, jika memang benar ada, yang membawaku “kembali” kesini.

                “Ah, ya. Aku tahu sekarang.” Tiba-tiba aku bersuara. Entah darimana, tapi aku merasa paham dengan ini semua. Mungkin di tempat antah berantah ini, fungsi otak, hati, dan mulut sudah tidak sesuai dengan seharusnya. Campur aduk. Kini aku merasa, semua yang kupahami tidak perlu datang dari otak. Cukup mulutku saja yang berpikir.

                “Ya. Bicaralah, aku menunggu. Sebentar, biar kutebak, ini sama lagi seperti yang sebelum-sebelumnya bukan?” Dia tahu. Aku menghela nafas. Dia tahu, tapi setidaknya kini sedikit berbeda.
                “Ya, kurang lebih.”
                “Baik, jadi kali ini apa yang membuatmu datang kembali kesini? Bukankah sebelumnya kau sudah berjanji bahwa kau tidak akan kembali?”

                “Memang begitu, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Dunia tempatku hidup bukanlah dunia yang stagnan. Semuanya bergerak dinamis. Aku akan selalu menyesuaikan diri dengan sekitar, kau tahu itu. Namun aku bukan bunglon. Aku tetap nyata walaupun sekitarku menyaru. Dan ketika kau menjadi seorang yang berbeda, di saat itulah semua berusaha menggoyahkanmu. Sulit, sungguh keadaan yang di luar dugaan telah menyulitkanku. Mereka berusaha membuatku saru, sama seperti mereka. Dan aku....cukup goyah. Kukira aku sudah cukup kuat. Namun ternyata aku goyah lagi.” Mataku menatap nanar ke arah kehampaan. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak di dadaku. Mendadak, aku ingin menangis.

                “Menangislah jika perlu. Kau tidak usah menjelaskan isi hatimu untuk aku tahu. Aku disini hanya untuk membantumu kembali menemukan dirimu.”
                “Apakah aku sedang tersesat?” Aku mulai sesenggukan.
                “Tersesat itu relatif, Sayang. Pelan-pelan.” Dia berusaha menenangkan.
                “Kenapa ini begitu sulit bagiku? Padahal aku melihat yang lain mudah-mudah saja untuk menjalani hidupnya? Kenapa sepertinya hanya aku satu-satunya yang harus selalu kembali kesini?” Perlahan, aku mulai menangis, setelah menyadari ironi yang terjadi terhadap diriku sendiri.

                “Kau tahu? Mereka juga pernah selalu kembali ke sini, bahkan lebih sering dari kau. Saat itu mereka menghadapi perang yang lebih besar darimu. Tangisan mereka lebih kencang darimu. Mereka terseok-seok untuk mencari jalan keluar. Namun pada akhirnya, mereka tak pernah kembali.” Dia berhenti sejenak. “Kau juga akan seperti itu.”

                “Tapi kapan?” tanyaku lirih. Kemudian dia menghela nafas.

                “Memang, manusia diciptakan berbeda-beda. Spesies jenis kamu itu, satu diantara seribu. Kamu engga ada lelah-lelahnya datang terus kesini, berulang kali menanyakan hal yang sama, bergulat dengan kegelisahan yang sama, lalu keluar melalui pintu yang sama. Kamu itu super berani, kalau boleh kubilang. Tidak banyak manusia yang berani kembali ke sini sebanyak yang sudah kamu lakukan. Kadang mereka jadi lelah sendiri, goyah, tapi mereka tidak kembali ke sini. Mereka memutuskan untuk mengikuti arus di dunia luar sana. Pada akhirnya, mereka beradaptasi. Tapi kamu menolak itu semua, bukan? Kamu memang batu. Tapi tidak ada salahnya. Kamu adalah kamu”

                “Jadi? Jadi apa inti dari semua ini? Apa langkah yang harus aku ambil?” Kemudian timbul kesadaran dalam hatiku. Kata yang kubutuhkan untuk merefleksikan keinginanku saat ini. “Aku tidak ingin berubah. Aku ingin tetap menjadi nyata. Aku belum ingin menyerah. Aku tidak ingin. Tidak....akan” Nadaku berubah menjadi ragu.

                “Tuh, kan? Nyata itu juga relatif, Sayang. Mereka yang berubah, pada akhirnya juga menjadi nyata di jalan mereka sendiri. Tinggal kamu yang pilih jalan kamu sendiri.” Kemudian hening. Aku sudah tidak tahu harus bicara apa lagi. Dia juga menunggu omonganku untuk direspon. Akhirnya aku lelah diam, dan aku bertanya lagi

                “Jadi apa kau punya saran? Saran yang bisa membawaku keluar dari sini lagi?”

                “Saran maupun jawabanku akan selalu sama dari waktu ke waktu. Sudah kubilang, aku disini hanya untuk membantumu menemukan dirimu sendiri. ­­Akan sampai pada saatnya ketika kamu memutuskan untuk beradaptasi. Namun adaptasi bukan berarti berubah. Dan perubahan tidak selalu buruk. Kamu akan mengerti ketika saat itu tiba. Tidak sekarang. Hingga saat itu tiba, tetaplah menjadi dirimu yang kamu yakini. Percayalah, hati tak pernah membohongi. Otak dan hatimu sebenarnya satu, maka belajarlah untuk menerima apa yang dikatakan hatimu.” Dia tersenyum.

                “Pada akhirnya aku akan berubah, bukan?” tanyaku lagi, nanar. Dalam hati aku sangat berharap dia akan menjawab ‘Tidak’.

                “Tidak ada yang pasti, Sayang. Segalanya relatif. Kau yang menentukan.” Lagi. Jawaban abu-abu. Tidak pasti. Tapi aku sadar, hal itu sangat wajar karena aku sedang berada di dunia abu-abu, abu-abu seperti dirinya. Sebetulnya mungkin jawaban itulah yang aku butuhkan. Mungkin ini semua sudah cukup.

                “Baiklah. Kurasa aku sudah cukup berada disini. Aku ingin pulang.”
                “Silahkan.” dia menjawab pendek.
                “Oh, ya. Satu hal lagi. Setelah ini...... aku harus kemana?”
                “Berjalan saja terus. Kau akan menemukan tujuanmu dalam perjalanan.” Dia senyum lagi. Kali ini, senyum yang meyakinkan. Membuatku merasa yakin telah menemukan jawaban.
                “Terima kasih. Aku rasa....ini tidak akan menjadi pertemuan terakhir kita.”
                “Kau yang menentukan.”

Kemudian segalanya melebur di hadapanku. Aku terbawa ke dalam bentuk kesadaran yang tidak menentu. Antara setengah sadar dan setengah tidak. Yang kutahu pasti, semua yang tadi ada di hadapanku telah menghilang, namun percakapan kami masih terus menggema dalam diriku. Sebelum aku sadar sepenuhnya, kusimpan erat semua percakapan itu dalam hatiku, kukemas menjadi sesuatu yang bernama “Keyakinan”.





(00:23, 6 April 2015, di tengah pengerjaan tugas review dan belajar untuk UTS yang tak kunjung selesai)

Comments