Sepotong Cerita #1
Januari 2010
Malam itu…
Awan menengadah ke langit yang gelap. Langit begitu
berkabut, berusaha menghalangi gemerlap bintang, tapi sia-sia. Sama seperti
langit, pikiran Awan juga diselimuti oleh kabut. Kabut kenangan, kabut perasaan,
kabut kesunyian. Kabut itu menutupi seluruh pikiran dan hati Awan. Dan sama
seperti bintang… satu nama mencuat begitu jelas dan terang, seolah-olah takkan
pernah redup walau dengan berbagai upaya. Sambil menghembuskan nafas yang
panjang dan penuh beban, Awan kembali ke dalam mobil Jeep hijau tua pemberian
mendiang ayahnya semasa SMA. Awan mencondongkan badan ke kursi bagian belakang
mobilnya dan meraih tas kuliahnya. Mengeluarkan buku berawarna biru tua yang lusuh
dan usang, tetapi tidak berdebu. Pinggirannya yang memiliki robekan-robekan
kecil, menandakan bahwa buku itu sudah terlalu sering dibuka-tutup. Awan
kembali keluar dan terduduk di atas kap mobil, tempatnya terdiam sedari tadi.
Ia buka halaman demi halaman bukunya itu…sembari kenangan demi kenangan
melintas di angannya. Foto-foto yang tidak kalah berumur dengan sang buku,
masih tertempel dengan kuat di kertas-kertasnya, sebagaimana ingatan dan
perasaan tersebut masih tertanam dalam tubuhnya. Tangan Awan tidak berhenti
membolak-balikkan halaman buku tersebut, hingga sampailah Ia ke halaman yang
masih kosong. Awan menatap kertas kosong itu lama, lalu mengeluarkan pulpen
dari saku nya. Dengan nafas yang berat dan tertahan, ia mulai menulis….
Lucu, bagaimana aku
tidak pernah bangkit dari sini
Aku ingin tertawa,
tapi tidak ada yang terlalu lucu untuk ditertawakan
Jika aku bangkit dan
berdiri di pasir… akankah laut meninggalkanku?
Jika aku berdiri di
tanah, akankah air laut mencoba untuk menggapai jemariku?
Tapi ternyata….aku
terlalu takut dan tidak memiliki tenaga untuk bangkit dan menjejakkan kakiku di
pasir
Seluruh tenagaku luruh
dihempas ombak yang tak pernah menentu
Dengan badai yang
menderu-deru
Membuat hatiku ingin
tahu tapi pilu
Ingatan-ingatan itu
masih terekam jelas di dalam hatiku
Bahkan otakku tidak
pernah berhenti memutarnya setiap hari
Ingin rasanya aku
merusak otakku sendiri, tapi tak sampai hati
Lama setelah aku
sadari, ternyata ingatan-ingatan itu begitu berharga
Menyimpan
harapan-harapan yang terkubur, tapi masih ada
Namaku Awan. Sesuai
namaku, yang seharusnya berfilosofi cerah luar biasa, bahagia tiada tara
Tetapi lebih sering
mendung tak karuan
Kau tahu? Senyummu.
Wajahmu. Sorot matamu. Rambutmu.
Aku ingat segalanya
tentang dirimu.
Tangan Awan sedikit bergetar. Dan kini matanya yang mulai
berkabut dan mengabur. Hatinya luar biasa sesak, tetapi terus mendesak Awan
untuk lanjut menulis…
Saat itu, pertama kali
kita berjumpa di tempat yang tidak lazim untuk bertemu
Dan jauh setelah itu,
barulah aku menyadari, hatiku telah dirampas olehmu
Aku bahkan bukanlah
seseorang yang sepatutnya diingat oleh dirimu
Tetapi aku, tanpa
komando, mengingatmu sepanjang waktu
Aku cukup lama hidup
di dunia ini
Tetapi tidak cukup
lama untuk mengerti benang merah antara kita
Haruskah kuputus
benang ini dan meninggalkannya
Atau mengikatnya
erat-erat di jemariku, di hatiku?
Mereka bilang waktu
yang akan menjawabnya
Tetapi waktu sudah
berjalan cukup lama meninggalkanku
Dan membiarkan
pertanyaanku menggantung di benakku
Tolong aku, siapapun
Aku, yang dimainkan
oleh perasaan
Aku, yang diusikkan
dengan tanya dan dihindari oleh jawaban
Aku, yang dibenci oleh
takdir karena terus mengutuknya
Aku, menunggu.
Selesai membubuhkan titik pada kata terakhirnya, Awan baru
menyadari kalau halaman bukunya kehujanan. Tetesan air meresap ke kertas,
membuat beberapa kata tulisan Awan menjadi luntur. Tidak, itu bukan hujan. Awan
juga baru menyadari kalau pipinya sudah basah dan matanya sembab oleh air mata.
Buru-buru Awan menutup bukunya, biar tidak ada lagi air mata yang jatuh menetes
ke tulisannya. Awan bersandar di kaca depan mobil, sambil mendekap erat bukunya.
Perasaannya tertumpah ruah mengalir bersama air matanya. Tidak lagi….Kali ini hanya boleh ada aku…tak boleh lagi ada kebohongan…Ya,
untuk kali ini…aku tidak ingin membohongi diriku sendiri….Awan membatin
dalam kesunyian, sambil menatap rembulan yang tahu-tahu membentuk wajah dirinya…..
Comments
Post a Comment